Oleh: Kasra Scorpi



Di setiap tanggal kelahiran RA Kartini 21 April  kita teringat akan ibu kita, dan hakekatnya setiap perempuan adalah ibu kita umat manusia. Siti Khadijah yang seorang pedagang, janda Haby Haleh Al Tamimy dan Oteaq Almakzomy yang kemudian dinikahi nabi Muhammad  adalah  ibu kita. Dia sangat dicintai nabi dan tauladan para “umi”.

Lisa Gherardini isteri pengusaha Italia Fransisco del Giocondo yang dalam lukisan Leonardo da Vinci  dinamai dengan Monnalisa  ibu kita, wajahnya dalam lukisan paling populer dan  dikagumi karena mengandung  sejumput misteri .

Putri  Nanta Seutia, Cut Nyak Dien, putri Bung Karno, Dyah Permata Megawati Soekarno Putri, Bundo Kanduang, putri Jenderal Aungsan, Aungsan Suu Kyi dan pejuang wanita lain  ibu kita. Iriana Jokowi juga ibu kita

Toh, Sri Mulyani Indrawati, Retno Marsudi, Cut Tari dan Luna Maya yang yang sering diekspos media massa nusantara juga ibu kita. Ibu kita ada dimana-mana.

Dimana-mana ibu kita mendapat kehormatan, di hampir setiap Negara ada peringatan hari ibu. di Amerika dan lebih di 75 negara lain, hari Ibu atau Mother’s Day  dirayakan setiap tahun pada hari Minggu di pekan ke dua bulan Mei.


Di Indonesia hari ibu diperingati secara nasional setiap tanggal 22 Desember. Penetapan  itu diputuskan dalam Konggres  Perempuan III tahun 1938. Penetapan itu dipertegas melalui Dekrit Presiden No.316 tahun 1959. Tanggal 21 April juga diperingati sebagai hari Kartini seorang ibu pejuang emansipasi yang terkenal dengan bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang.

Agama Islam berdasarkan hadist nabi menempatkan kehormatan terhadap  ibu tiga banding satu dengan bapak.

Menurut adat Minang, ibu pemilik “sako jo pusako”, dalam pepatah adat disebut, “Amban puro pagangan kunci, limpapah rumah nan gadang” dengan sifat-sifat, “Bajalan bak siganjua lalai pado malangkah suruik nan labiah, alu tataruang patah tigo,ka unduang-unduang ka madinah ka payuang panji ka sarugo”.

Ibu adalah tiang negara, rusak ibu rusak negara, ibu pendidik pertama terhadap  generasi yang dilahirkannya, sorga di bawah telapak kaki ibu.

 Namun ibu pernah menempuh sejarah kelam.  Pemikiran jahiliyah pernah meminggirkan kaum ibu, dalam budaya bangsa kita sendiri ibu pernah dianggap hanya sebagai sosok yang harus bergelut dengan urusan kasur- sumur dan dapur di dalam rumah.

Tapi Itu dulu, kini ibu kita telah beremansipasi, malah ada yang over emansipasi, berkiprah melampaui fitrah dan kodrat, ibu telah ada dimana-mana dan pergi kemana-mana, hingga gampang dijumpai di segala tempat, di kursi presiden, parlemen, di pasar, hotel, café, panti asuhan, di rumah majikannya di luar negeri, di rumah hiburan, di rumah “kuning”, di rumah tahanan, juga di situs porno. 

 Menarik kalimat dai sejuta umat KH Zainuddin,Mz, “ saya ada dimana-mana tetapi tidak kemana-mana”, kalimat itu kita maknai bahwa sang kiai boleh berkiprah di banyak tempat tetapi tetap eksis dengan kekiayaiannya. Meminjam pilosofi sang kiay  kita berharap, “ibu kita boleh dimana-mana tetapi jangan kemana-mana”, bekerjalah di berbagai bidang tetapi eksislah sebagai ibu dengan kodrat utama mengandung, melahirkan, menyusui, mendidik keluarga dan mendampingi suami.

 Kita enggan mendengar ibu kita yang mewakilkan menyusui putra-putrinya kepada dot dan tabung, enggan mendengar pengasuhan anak yang total diwakilkan kepada pembantu,tidak tega melihat bapak-bapak yang kesepian ditinggalkan ibu kita yang pergi kemana-mana. Selamat hari Kartini***

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama