Oleh: Joni Sujarman 

Merupakan pandangan kabur, yang paling menyesatkan, menyangkut Covid-19 adalah bahwa memperlakukan dan menyamaratakan kemampuan kita semua. Baik secara medis, ekonomi, sosial atau psikologis. Padahal sesungguhnya, secara khusus, Covid-19 memperburuk, bahkan memperdalam kondisi ketimpangan yang sebelumnya sudah ada. 

Merupakan fakta, saat invasi Covid-19 menyapu dunia, beban ini mengakibatkan kemampuan hidup yang miskin menjadi jauh lebih sulit daripada mereka yang tidak miskin atau lebih baik. Salah satu konsekuensinya, ini akan menyebabkan kekacauan sosial, hingga kerusuhan, dan bahkan bisa menyeret pada Perubahan Sosial Berskala Besar (PSBB). 

Sebelum pasukan Covid-19 memulai invasinya ke negara-negara di dunia, keresahan sosial diseluruh dunia telah meningkat. Menurut Carnege Endowment For International Peace¹, sejak 2017 telah terjadi sekitar 100 protes besar anti-pemerintah. Mulai dari kerusuhan gilets jaunes di negara kaya seperti Prancis, hingga demonstrasi terhadap orang kuat di negara-negara miskin seperti Sudan dan Bolivia. Sekitar 30 dari protes ini menggulingkan para pemimpin. Sementara 8 dari 12 negara Amerika Selatan telah mengalami protes yang signifikan. Selain itu, beberapa ditindas dengan tindakan brutal dan banyak lainnya kembali membara sampai pecahnya protes berikutnya.

Efek langsung dari Covid-19, memang, sementara meredam sebagian besar terjadinya bentuk protes. Ini disebabkan pemerintah, baik yang demokratis maupun otoriter, dengan dalih memerangi pasukan Covid-19, membuat himbauan dan aturan yang "memaksa" rakyat mereka melakukan, mulai dari tindakan jaga jarak (social distancing) hingga "mengunci diri di rumah" (Work From Home). Kondisi dari himbauan dan aturan tersebut, membuat orang tidak turun ke jalan atau berkumpul dalam kelompok. 

Namun, di balik pintu rumah tangga miskin yang terkunci, di penjara dan daerah kumuh - bahkan sebelum pandemic, dimanapun orang lapar, sakit dan khawatir - kegelisahan dan keresahan akibat tekanan beban ekonomi sedang menumpuk. Dengan satu atau lain cara, tekanan-tekanan ini akan mencari dan menemukan jalan keluarnya sendiri.

Dengan demikian, serbuan Covid-19 telah mempertontonkan semakin terang dan jelas pada kita tentang, semakin dalam dan lebarnya jurang ketidaksetaraan atau kesenjangan antar negara dan ketidaksetaraan atau kesenjangan di dalam suatu negara. 

Kita dapat menyaksikan di satu sisi, beberapa orang kaya, yang sedikit jumlahnya, tidak memiliki persoalan dalam "mengisolasi diri". Mereka masih cukup nyaman untuk tetap bekerja dan tetap memiliki akses menghasilkan uang dari rumah melalui fasilitas Zoom dan Slack.

Tetapi di sisi kaum buruh tidak demikian. Para buruh, yang jumlah populasinya mayoritas, tidak memiliki pilihan itu. Sehingga, seorang buruh yang memiliki sedikit kemampuan menghasilkan uang, maka otomatis semakin kecil kemungkinan buruh itu untuk dapat bekerja dari jarak jauh. 

Para buruh ini, umumnya tidak memiliki tabungan dan asuransi kesehatan. Maka mereka, terlebih buruh tidak tetap (pekerja informal), mau tidak mau, suka tidak suka, harus mempertahankan pekerjaan hanya untuk sekedar memenuhi dan mempertahankan kebutuhan hidup. Namun saat bekerja, mereka berisiko terinfeksi dan membawa virus pulang ke keluarga mereka. Dan pasukan Covid-19 akan membunuh dengan sangat cepat melalui lingkungan yang sempit, penuh tekanan dan suram.

Terlebih bagi para buruh yang tinggal di wilayah permukiman padat dan kumuh. Di wilayah ini, sejatinya tidak ada yang namanya "jarak sosial". Karena seluruh keluarga tidur numplek di dalam satu ruangan. Dan mungkin tidak akan ada diskusi tentang apakah perlu memakai masker sebagai pelindung, karena selain tidak ada jarak, juga memang tidak ada memiliki masker. Dan walaupun merupakan saran yang baik agar mencuci tangan lebih sering, tapi bagaimana saran itu akan efektif, jika ditempat mereka tidak ada air yang mengalir. Di sini, terlihat satu hal penting untuk digarisbawahi, dari setiap kebijakan pemerintah harus mempertimbangkan bahwa kaum buruh yang bekerja tidak boleh lagi mengorbankan kesehatan individunya, keluarganya, atau kesehatan masyarakat.

Situasi ini menjelaskan bahwa kaum miskin cenderung  menuju pada kondisi sangat kronis. Sehingga, terkait Covid-19, jelas menempatkan mereka pada risiko kematian yang lebih tinggi. Jika Covid-19 melanggengkan krisis ekonomi yang sudah ada, maka hasilnya dapat dipastikan bahwa tingkat pengangguran meningkat secara substansial dan otomatis berimbas pada ketidakamanan sosial.

Menyangkut efek yang diakibatkan oleh wabah Covid-19 terhadap kondisi kaum buruh, Organisasi Buruh Internasional telah memperingatkan bahwa wabah ini akan menghancurkan 195 juta pekerjaan di seluruh dunia². Lebih jauh, secara drastis akan memotong pendapatan 1,25 miliar orang, terutama dari mereka sudah miskin. Efek lainnya, ketika pengangguran tersebut ternyata semakin memperburuk kemiskinan, yang sebelumnya telah mereka alami, maka ini menyebabkan meningkatnya kriminalitas (dari alkoholisme dan kecanduan narkoba hingga kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan anak). Dan ini membuat seluruh populasi mengalami trauma, mungkin secara permanen.

Dalam konteks ini, akan naif untuk berpikir bahwa, setelah wabah Covid-19 selesai, semua akan baik-baik saja dan dunia dapat melanjutkan kehidupan seperti sebelumnya. Sejatinya, kemarahan dan kepahitan yang menumpuk akan menemukan outlet baru. Tanda-tanda awal kemarahan bisa dilihat datang dari Brazil, dimana jutaan warga membanting panci dan wajan untuk memprotes pemerintah³. Tak hanya di Brazil, tanda-tanda kemarahanpun ditunjukan di Amerika Serikat, negara yang menjadi ukuran kemajuan negara-negara lain di dunia. Kemarahan warga Amerika Serikat ini diperlihatkan oleh para pengunjuk rasa telah turun ke jalan-jalan di negara bagian di AS, seperti; demonstrasi di Arizona, Colorado, Montana dan Washington, menyusul protes sebelumnya di setengah lusin negara bagian⁴. Tanda-tanda awal lainnya datang dari Lebanon, dimana terjadi kerusuhan di penjara yang penuh sesak (https://aje.io/kwuq8). Begitu pula di tanda awal dari Indonesia, dimana terjadi ricuh di Lapas Tuminting Manado (https://www.kompas.tv/article/75754/penyebab-lapas-tuminting-manado-ricuh-napi-panik-ingin-dibebaskan-karena-corona). Khusus di Indonesia, para pengusaha, yang sudah babak belur dihajar Covid-19, juga merasakan dan mencium kuatnya potensi aroma akan terjadinya ulangan kerusuhan  seperti tahun 1998 (http://detik.id/6Tn3U9). Kalau kita simak, maka tanda-tanda lainnya juga bermunculan di banyak negara lainnya. 

Pada saatnya, akumulasi kemarahan, kepahitan, kesuraman, dan penuh tekanan ini bisa jadi memicu gerakan populis yang mengarah pada Perubahan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan dapat menyapu yang mereka definisikan sebagai musuh. Invasi Covid-19 tahun 2020 ini merupakan ultimatum sekaligus tuntutan pada pengambil kebijakan yang menolak berpihak untuk meningkatkan taraf hidup kaum buruh, kaum tani dan rakyat miskin lainnya. Mereka, para pengambil kebijakan, harus berpikir lebih keras dan lebih berani, tentang masalah mendasar yang dihadapi, termasuk ketidaksetaraan dan kesenjangan ekonomi. Ini adalah panggilan untuk semua yang berharap, tidak hanya untuk bertahan hidup dari invasi pasukan Covid-19, tetapi untuk bertahan hidup di dunia yang layak untuk ditinggali.***

Note:
¹https://carnegieendowment.org/publications/interactive/protest-tracker
²https://www.ilo.org/global/about-the-ilo/newsroom/news/WCMS_740893/lang--en/index.htm
³https://www.bbc.com/news/world-latin-america-51955679
⁴https://www.bbc.com/news/world-us-canada-52348288?ocid=wsnews.chat-apps.in-app-msg.whatsapp.trial.link1_.auin

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama