Oleh Miko Kamal, S.H., LL.M., Ph.D
Legal Governance Specialist
Petani menanam padi di sawahnya. Setelah dipanen, padinya dijual ke tempat penggilingan (heler). Heler mengubah padi menjadi beras. Beras dibeli oleh distributor. Biasanya dalam jumlah yang besar. Distributor menjual berasnya kepada pengecer. Ujungnya, pengecer menjualnya lagi kepada pelanggan untuk konsumsi sendiri.
Begitulah rantai bisnis. Rantai bisnis menghidupkan perekonomian. Banyak orang yang tertolong dengan bergeraknya rantai bisnis yang sempurna itu. Petani tertolong. Padinya dibeli oleh pegusaha heler. Petani dapat uang. Petani tidak tunggal. Ada beberapa orang. Biasanya petani pemilik sawah dibantu oleh beberapa orang petani pengambil upah.
Dalam menjalankan heler, pengusaha heler juga mempekerjakan beberapa orang. Tukang jaga mesin, tukang angkat dan tukang jemur padi sebelum digiling. Minimal serupa itu.
Distributor yang membeli beras dari heler harus menyediakan gudang. Gunanya untuk menyimpan beras-beras yang sudah dibelinya. Gudangnya dibangun oleh tukang. Setelah siap, gudang akan dijaga oleh penjaga yang bergaji. Agar aktivitas distribusi beras lancar, distributor mempekerjakan tukang angkat, pencatat beras keluar masuk gudang dan sopir truk yang bertugas mengantarkan beras yang dipesan oleh pengecer.
Pada umumnya, pengecer tidak menjual beras semata. Macam-macam yang dijualnya. Bisa dari A sampai Z. Pengecer butuh toko untuk memajang jualannya. Untuk menjaga barang dan melayani konsumen, pengecer butuh banyak karyawan. Setiap karyawan makan gaji dari pengecer. Bosnya.
Rantai bisnis tidak hanya berlaku pada komoditi beras. Beras contoh saja. Ia berlaku untuk semua jenis barang. Berlaku juga untuk gula, minyak goreng dan lain sebagainya. Bahkan juga berlaku untuk bisnis pembuatan dan jual beli kapal terbang. Rantai bisnis juga berlaku pada bisnis jasa.
Bila rantai bisnis berjalan harmonis, ekonomi akan hidup. Banyak orang yang menggantungkan hidupnya dari situ. Mulai dari petani pemilik lahan, petani pengambil upah, distributor dan orang-orang yang bekerja padanya, sampai pengecer yang menyerap banyak tenaga kerja. Lapangan kerja terbuka lebar. Pengangguran tentu tidak akan banyak. Masalah sosial bisa diminimalisir.
Sebaliknya, bila salah satu rantai bisnis terputus, dampak buruk terhadap ekonomi akan terjadi. Misalnya, bila konsumen membeli beras langsung ke heler, rezeki distributor akan sendat. Karyawan yang bekerja padanya akan dipecatnya karena tak kuat lagi menggaji dari bulan ke bulan. Atau, pengecer langsung membeli beras yang hendak dijualnya di toko kepada petani dalam bentuk padi yang diolahnya sendiri menjadi beras. Pengusaha heler dan distributor akan pingsan.
Secara pragmatis, memutus rantai bisnis bisa jadi menghasilkan keuntungan yang besar bagi si pemutus. Tapi, secara ekonomi dan sosial, dampaknya buruk. Orang-orang yang berhak atas kehidupan ekonomi yang layak akan kehilangan hak.
Dalam praktik, putusnya rantai bisnis bisa terjadi secara sengaja atau tidak. Yang memutus rantai bisnis dengan segaja disebut orang "akok". Dalam bahasa ekonomi dipanggil monopolist, yaitu orang yang melakukan praktik monopoli. Bahasa lainnya, orang yang suka makan tebu dengan urat-uratnya.
Yang memutus rantai bisnis secara tak sengaja, sebenarnya bukan bermaksud mencari keuntungan. Hal ini banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga sosial-kemanusiaan yang menyalurkan harta orang yang berinfak, bersedekah dan berzakat kepada yang berhak. Baik di masa normal maupun di masa wabah Covid-19 seperti sekarang. Mereka, pada umumnya, melakukan itu dengan maksud agar kuantitas barang yang dibeli bisa lebih banyak. Pemerintah dan masjid-masjid yang memberikan bantuan sosial juga masuk dalam kelompok ini.
Akan tetapi, meskipun itu dilakukan bukan dengan itikad buruk, jalan yang ditempuh itu tetap saja tidak etis. Melanggar etika bisnis. Tidak dapat dibenarkan. Pasalnya, itu akan mengganggu harmonisasi tatanan bisnis yang akan meninggalkan dampak sosial ekonomi yang buruk. Bayangkan kalau semua lembaga-lembaga sosial-kemanusiaan membeli beras, minyak goreng, dan gula langsung kepada produsen, sekian banyak perusahaan distributor dan pengecer akan tutup.
Akibat lanjutannya, ribuan orang yang bekerja pada distributor dan pengecer akan terkena pemutusan hubungan kerja. Barang memang didapatkan dengan harga yang sedikit lebih murah, tapi distributor, pengecer berikut dengan karyawannya akan terkena dampak buruknya. Kalau sudah begini, kan besar pula uang 500 dari pada 1.000.
Rantai bisnis hanya bisa berputar sempurna bila para pelakunya memelihara etika. Sekarang saatnya menegakkan etika bisnis. Penegakan etika bisnis di masa sulit seperti saat ini dapat membantu negara dari keterpurukan ekonomi yang semakin dalam.***
Padang, 3 Mei 2020.
Posting Komentar