Kondisi di Indonesia saat ini ibarat bara dalam sekam, kemarahan karena ketidak-adilan kian hari kian menumpuk dan rentan menjadi ledakan amuk massa.
Sudah banyak anggota masyarakat yang mengutarakan opini kritisnya secara membangun maupun mengecam, demokrasi sejatinya harus membuka ruang seluas-luasnya bagi nalar untuk saling bertukar opini, ide dan sudut pandang berbagai permasalahan yang kita hadapi bersama.
Pikiran kritis hanya akan menyumbang inspirasi solusi masalah bila muatan rasa suka tidak suka secara personal dapat dikesampingkan, karena pikiran kritis hadir dari solidaritas dan kepedulian terhadap situasi.
Menjadi partisan malah mempersempit nalar. syukur syukur kalau tidak tersesat dan menjadi fans atau pembenci fanatik. Itulah bahayanya sebuah pandangan buta sebagai partisan.
Dari kemeriahan media sosial di masa lockdown ini, ada hal menarik tentang bagaimana sikap tiap bangsa menyikapi masalah domestik, regional dan global terkait dampak multisektoral dari pandemic ini.
Sebetulnya virus itu hanya trigger. Yang jadi masalah adalah penyikapan yang mengabaikan fokus memperjuangkan solusi untuk bisa bertahan hidup dan jadi pemenang.
Nasib warga negara Indonesia baik di dalam negeri maupun di luar negeri sungguh kasihan. Bukan kasihan karena indikator ekonomi. Kasihan karena figur-figur yang duduk di pucuk pimpinan kebijakan sungguh egois dan tidak beradab.
Ada yang namanya, kubu joko widodo, kubu Prabowo, kubu Anies Baswedan, kubu Luhut Binsar Panjaitan, kubu Airlangga, kubu Susilo Bambang Yudoyono, kubu Megawati Soekarno Putri sampai kubu para pemain baru yang masih senyap, semuanya sama egoisnya.
Cari panggung bahkan sampai hal fundamental tentang kebutuhan pangan masyarakat mereka jadikan Collateral Damage. permainan adu sumbangan sembako yang sumber uangnya dari anggaran negara tapi dicitrakan seolah-olah dari kedermawanan dirinya, genit fatal itu namanya.
Ada yang namanya, kubu joko widodo, kubu Prabowo, kubu Anies Baswedan, kubu Luhut Binsar Panjaitan, kubu Airlangga, kubu Susilo Bambang Yudoyono, kubu Megawati Soekarno Putri sampai kubu para pemain baru yang masih senyap, semuanya sama egoisnya.
Cari panggung bahkan sampai hal fundamental tentang kebutuhan pangan masyarakat mereka jadikan Collateral Damage. permainan adu sumbangan sembako yang sumber uangnya dari anggaran negara tapi dicitrakan seolah-olah dari kedermawanan dirinya, genit fatal itu namanya.
Realita kondisi di Indonesia saat ini sebetulnya sudah mencerminkan kondisi penerapan UU Karantina Wilayah. Karena keengganan politikus untuk menerapkan kewajiban menjamin kebutuhan makan warga dan ternak sesuai yang diamanatkan oleh UU tersebut, maka hadirlah berbagai polemik istilah pelintiran dari UU Karantina Kesehatan.
Kebutuhan makan bukan hal yang bisa ditunda karena alasan apapun, baik yang disediakan negara maupun yang tersedia di pasar, semua wajib dijamin ketersediaan stoknya dengan harga terjangkau segala lapisan masyarakat.
Malnutrisi adalah salah satu pemicu kemunduran sumber daya manusia setiap bangsa, apalagi kalau sampai terjadi kelaparan massal, bagaimana bangsa kita bisa lunasi hutang kalau kita kurang gizi & kelaparan?
Di era politik ala barbarian, mengendalikan massa dicapai dengan cara mengendalikan perut rakyat. cara berpolitik seperti itu tidak boleh terjadi di masa orang-orang millenial yang katanya serba modern dan terdidik.
Alasan hutang negara kita ke negara lain bukan cuma menjual agenda proyek massive, tapi juga menjual potensi keuntungan yang akan dipetik dari jumlah populasi penerima manfaat hutang tersebut, paling utama adalah potensi pasar stok pangan yang menjadi konsumsi primer dari negara yang populasi penduduknya ratusan juta jiwa.
Andai negara kita berhutang senilai Rp 1 milyar kepada negara A yang populasi penduduknya sebesar 10 juta jiwa, maka beban nilai hutang sebesar X itu kita bagi dengan populasi negara kita semisalnya 100 juta jiwa.
Ilustrasinya, Rp 1 milyar : 100 juta jiwa = Rp. 10 per penduduk yang harus menanggung beban hutang tersebut.,lalu warga negara A yang memberi hutang tentunya berhak mendapat tambahan misalnya 5% per tahun selama masa hutang 5 tahun. Berarti total 25%.
Mencicil Rp 1 milyar selama 5 tahun dengan bunga pokok 5% x 5 tahun berarti total pengembaliannya Rp. 1,25 milyar. Beban per penduduk negara kita berarti Rp. 12,5 per penduduk. Untuk memberikan bunga hutang kepada negara lain dan mengembalikan pokok.
Bayangkan andai ribuan trilyun? bayangkan andai penggunaan hutang tersebut disalah-gunakan? bayangkan bila hutang tersebut malah bocor ke kantong2 pribadi pengguna anggaran dan bukan ke penerima manfaat? kita mampu lunasin pakai apa? jadi budak untuk lunasin hutang yang kita ga tau duitnya dikantongin siapa dan mereka pakai untuk apa? hidup macam apa kalau seperti itu?!?
bila efeknya akan meluas sampai ke kewajiban negara pemberi hutang kepada warganya di sana, bukan mustahil mereka akan akuisisi paksa negara kita?
Itulah jebakan fatal hutang luar negeri.
Andai berhutangnya kepada negara yang minim kepedulian terhadap hak asasi manusia dan pelestarian lingkungan hidup, selesai masa depan anak cucu kita.
Nanti kita bahas kejahatan sindikat pencitraan politik berkedok bantuan makanan di edisi selanjutnya (Andai yang masih pada koppig bela2 pujaannya secara membabi buta itu masih ngotot pingin test ranjau darat yak).***red
Terusin. 😄
Posting Komentar