Oleh:Kasra Scorpi

Demokrasi yang kita pilih sebagai sistem ketatangaraan dan pemerintahan  sangat tepat, karena dengan cara demokrasilah kita dapat menjembatani aneka perbedaan di negara pluralis yang ditandai dengan kebhinekaan, etnis,  suku, budaya dan agama. Sementara pada sejumlah daerah nilai-nilai demokrasi yang melibatkan partisipasi rakyat dalam pemerintahan juga merupakan nilai-nilai yang dianut oleh leluhur mereka  sejak lama.

Di satu sisi pelaksanaan demokrasi di Indonesia telah  menimbulkan hal positif, yakni memberikan ruang kebebasan kepada masyarakat untuk beraktifitas dan berkreasi di berbagai bidang kehidupan.

Namun di sisi lain demokrasi dirasakan masih belum pas, bablas, mendebarkan, merisaukan dan sering menimbulkan kerusakan pada tatanan sosial budaya masyarakat serta menimbulkan kerugian pisik. 

Yang kita rasakan sekarang, dengan dalih demokrasi, orang semakin mudah  berseteru, gugat menggugat, menghina, menfitnah, memaki, dan saling menghasut antar sesama anak bangsa dan kelompok politik. Juga sering berlanjut ke demonstrasi jalanan tak terkendali, berdarah-darah, bakar membakar-bakar yang menimbulkan korban nyawa manusia.

Mengeluarkan pendapat secara bablaspun tidak mengenal kondisi, ruang dan waktu. Dalam kondisi pandemi korona yang mengganas masih banyak orang mengeluarkan pendapat secara ultra bebas yang berpotensi menyulut perpecahan dan dendm,  baik di media sosial, media mainstream maupun di jalanan.

Bahkan menurut berita terakhir, ribuan buruh dari berbagai wilayah, memastikan bakal menggelar aksi demo di tengah wabah corona atau Covid-19 dan pada bulan puasa, 30 April mendatang di komplek gedung parlemen Jakarta.

"Jangan halangi buruh demo ", kata Presiden KSPI Said Iqbal melalui keterangan tertulisnya yang dikutip sejumlah media, Kamis (16/4/2020).

Aksi yang dilakukan  buruh di depan komplek parlemen itu untuk mendesak DPR menghentikan pembahasan RUU Omnibus Law, khususnya Cipta Kerja. 

Pada sebelum ini ada pula anggota dewan yang menolak aturan penanganan corona, seperti anggota dewan memarahi petugas yang akan menyemprotnya  dengan disinspektan. Padahal mereka semestinya memberikan teladan kepada masyarakat. Begitupun warga masyarakat ada yang menolak regulasi PSBB dan menolak pemakaman korban Copid 19.

Yang amat sisayangkan yang menyulut kebablasan demokrasi bukan saja rakyat biasa, turut serta kaum elite nasional, termasuk mereka yang yang telah menduduki jabatan di sejumlah lembaga negara dan di NGO. Jangan lupa pers juga ikut lho!

Puncak dari kebabalasan demokrasi yang kita alami sejak era reformasi antara lain disebabkan oleh elite juga, terutama elite politik yang belum mampu menyikapi hasil kontestasi secara "fair play", entah itu kontestasi pemilihan kepala daerah, legislatif maupun pemilihan presiden.

Sehingga mereka yang kalah terus  saja ngotot dan merongrong pihak yang menang, mereka enggan melakukan konpromi, dan lebih getol memprovokasi melalui para buzzer yang dipelihara, ketimbang memberikan kontribusi positif untuk pembangunan bangsa.

Sementara itu pihak yang menangpun dan telah dapat jabatan di lembaga negara banyak yang memanfaatkan "aji mumpung". Mumpung masih memecit jabatan kembalikan modal pemilihan dulu, perkaya diri dulu, kalau tidak sekarang kapan lagi. Dah, korupsi dan kolusi aja!

Padahal demokrasi, "A government of the people, by the people and for the people, not for the boss", sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, bukan untuk para pemimpin. Nah, buat apa kita berdemokrasi kalau bukan untuk rakyat, apalagi kalau untuk kesejahteraan para pemimpin?

Karena itu, untuk mencapai cita-cita ideal demokrasi yang diinginkan kita semua harus terus menerus memperbaikinya dengan mengoreksi kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan dan melakukan penyempurnaan, serta merubah sikap.

Untuk itu, mengingat mayoritas masyarakat kita menganut budaya faternalistik, "wayang nurut dalang", maka kita sangat berharap kepada para elite untuk bermain di ruang demokrasi secara "fair play" dan berharap para elite menjadi teladan, pelopor dan motivaror demokrasi bagi warga negara. 

Elite yang diharapkan tersebut adalah kalangan birokrat (aparat pemerintahan), security (TNI Polri), para tokoh (agamawan, budayawan, ilmuwan, negarawan), enterpreunur (pengusaha/orang kaya) dan elite pers.

Demokrasi merupakan hak warga negara seperti diatur dalam pasal 28 UUD 1945, namun hak warga negara itu bukan tanpa batas, tetapi dapat diatur. Oleh karena itu aturan atau hukum untuk menjabarkan demokrasi harus sesuai dengan kehendak mayoritas dan harus dijalankan secara tegas!***

Tanah Tadar 18/4/2020

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama