Pemimpin Instan vs Makanan Instan

Oleh : DR. Indra Catri, MSi. Dt Malako Nan Putiah

Bupati Agam Dua Periode 2010-2020

Pada suatu Petang tiba-tiba terlintas di benak saya  tentang iklan suatu produk  “apapun bencana nya pasti mie instan bantuannya”.

Entah mengapa setiap terjadi bencana bantuan yang disalurkan para donatur seringkali berupa mie instan, sarden kaleng, biskuit serta minyak goreng buatan pabrik besar. Seakan sudah terbingkai bahwa dalam setiap bencana barang-barang tersebut dapat segera disalurkan untuk mengatasi masalah.

Seperti halnya pada saat ini ketika wabah Covid-19 melanda dunia, tiba-tiba saja aneka makanan instan dari berbagai merek dan bentuk bertebaran di seantero negeri. Tidak dikota maupun didesa, tidak pejabat eksekutif, legislatif, politisi, pengusaha maupun perorangan semua berlomba-lomba menyalurkan paket-paket bantuan yang berisikan hampir 90% terdiri dari makanan instan tersebut. Terlepas dari niat maupun tujuannya kita patut memberikan apresiasi positif kepada para dermawan ini. Namun terkadang kita juga boleh untuk berfikir “out of the book”

Ketika terjadi bencana alam yang menghancurkan secara fisik rumah dan alat-alat produksi masyarakat pada awal-awal setelah terjadi bencana mungkin makanan instan ini sangat efektif. Namun dalam praktiknya tidak setiap hari juga para korban bencana dan pengungsi itu berkenan disuguhi makanan instan. Makanya pada hari kedua atau ketiga sudah bisa dibuatkan dapur umum guna memenuhi kebutuhan pangan mereka.

Berbeda halnya ketika wabah corona saat ini, rumah ataupun alat-alat produksi masyarakat boleh dikatakan tidak ada yang benar-benar rusak secara fisik. Secara teoritis sesungguhnya ruang gerak manusianya yang dibatasi. Artinya petani seharusnya masih boleh bertani, nelayan masih boleh melaut, peternak masih boleh menggembalakan ternak-ternak mereka sepanjang mengamalkan prinsip-prinsip sosial dan physical distancing. Pada sisi yang lain memang terdapat kelompok masyarakat yang memerlukan bantuan yaitu mereka yang dirumahkan atau di PHK yang secara ekonomi sangat berdampak dengan kemampuan daya beli mereka, namun makanan instan bukanlah jawaban yang paling tepat saat ini.

Lagi pula sesuatu yang bersifat instan-instan tersebut tidak selamanya mampu menyelesaikan masalah. Terkadang bisa terjebak dalam dilema: lain yang sakit lain pula yang diobat. Sebagai contoh, secara ilmu kesehatan saat ini yang paling dibutuhkan untuk menaikan imunitas melawan covid-19 adalah makanan yang berasal dari buahan dan sayuran tapi yang dibagi-bagikan justru bukan ikan segar, buahan segar, dan sayuran segar.

Timbul pertanyaan, mengapa kita tidak membeli beras, sayur-sayuran, buah-buahan, dan ikan segar dari petani kita saja..? Disamping lebih sehat tentunya akan mendorong adanya perputaran uang di akar rumput.

Bayangkan, kalau para donatur memborong produksi pertanian masyarakat untuk kemudian membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Dampaknya secara ekonomi akan sangat bermanfaat bagi masyarakat.

Saya pernah seperti “ditampar” oleh kearifan lokal yang diperlihatkan oleh masyarakat Tanjung Sani dan Sungai Pua dalam menghadapi bencana (kabupaten Agam, provinsi Sumatra Barat) beberapa tahun yang lalu.

Ketika terjadi bencana di Tanjuang Sani masyarakat Sei Pua mengantarkan bantuan yang khas saat itu terutama berupa beras dan sayuran. Hasilnya masyarakat terdampak bencana menerimanya dengan senang hati dan penuh syukur. Mereka senang karena mendapatkan makanan segar, sesuai dengan selera, dan terhindar dari kejenuhan karena beberapa hari disuguhi terus dengan makanan instan produksi pabrikasi. Pembelajaran lain, ketika mengantarkan bantuan bagi korban gunung meletus ke Sinabung kami diterima dengan suka-citanya oleh masyarakat penerima karena membawa oleh-oleh berupa beras, ikan asin, sayur-mayur, ikan asin, dan cabe atau lado.

Saat ini Saya kembali tersentak begitu banyaknya Walinagari, camat, dan masyarakat kabupaten Agam menawarkan produk-produk UMKM dan hasil pertanian masyarakat kabupaten Agam. Namun yang lebih banyak dibeli dan diminati untuk disumbangkan tetap mie instan, minyak goreng produk pabrik ternama plus sarden untuk disumbangkan ke masyarakat.

Dan Sore itu saya merasa “ditampar” lagi oleh ocehan salah seorang petani di Agam yang disampaikan siang sebelumnya: “kalau dapat sebagai pemimpin rakyat, wakil rakyat yang merakyat, beliau-beliau ini membeli produk rakyat untuk disumbang kan ke rakyat, bukan menjadi agen dari produk ternama tersebut. Seyogianya, janganlah sampai pula keluar meme “Politisi Instan, Pemimpin Instan, Makanan Instan, Kebijakan Instan”. (RayLMPiliang/Red)

Catatan : Silakan copas / diperbanyak dengan menuliskan dMagek.ID sebagai sumber artikel.